Jumat, 12 Oktober 2018

Sampai Jumpa Kesayanganku

Wajah keriput yang setiap kali aku terbangun selalu aku pandang, adalah seseorang yang sangat berjasa dalam perjalanan hari demi hari, sulit untuk menceritrakan tentang semua pemberian nenek. aku dibesarkan dengan kesabaran yang luar biasa, saat pertama kali mereka tersenyum, adalah saat aku hadir dimuka bumi. Mereka membela saat semua orang memarahi, mereka menenangkan saat semua orang hanya diam melihat aku menangis. aku berhutang budi pada mereka yang bersusah payah, untuk menyenangkan ketika aku kecil dulu, dibawanya aku pergi berjalan, hanya karena aku menangis meminta untuk jalan-jalan. Dan selepas setahun umurku, kakek meninggal, hingga kini hanya beberapa foto hitam putih dan nisan bertulis namanya yang aku dapati. Selanjutnya hanya nenek yang bersamaku, Dibelikannya aku makanan dan minuman, hanya karena aku ingin memakan seperti yang dimakan oleh kawan-kawanku. Uang nenek tak cukup kala itu, tapi demi aku tak menangis, dihutangnya dulu makanan itu, di warung dekat rumah, saat uang 500 rupiah mampu membeli beberapa jenis makanan.

Separuh waktuku kuhabiskan dengan nenek, bercanda, menangis, marah, semua kulaporkan pada nenek. Setiap pergi dan pulang sekolah, selalu salam kata nenek.. “masuk rumah, jangan lupa salam.”  Baju sekolahku itu disetrikakan nenek, dicuci olehnya, sampai hari senin tiba, sebelum pergi sekolah, diluruskannya dasiku, disiapkan topiku, dan memastikan aku sudah sarapan. Apapun alasannya jangan pergi ke sekolah, tanpa mengisi perutmu. aku waktu itu bandel luar biasa, tak mau mendengar, sehabis pulang sekolah, pasti dimarahi, aku pulang membawa kaos kaki dan sepatu yang basah, akibat bermain diselokan selepas pulang sekolah. Kayu bakar menjadi hadiah setiap sore, untuk seorang cucu yang keras kepala tak mau tidur siang, dan tak akan pulang kalau tak dicari. Itulah kerjaan nenek, setiap sore mencariku, hanya untuk sekedar menyuruh sholat maghrib di mesjid. aku merasa berdosa, maaf ya nek.

Itu gambaran bahwa aku ini besar dalam didikan nenek. Selama belasan tahun neneklah yang selalu ada dalam kehidupanku, ketika pagi aku dibangunkannya, ketika malam kepalaku dielusnya, sampai aku tertidur. SD terlewat, dan aku hanya beberapa kali bertemu dengan ayah dan ibuku. SMP, tak jauh berbeda, ayah memberikanku sepeda, membuat nenek pusing tak karuan, jelas, dengan sepeda itu, tempat bermainku pasti akan lebih jauh. Alhasil, aku selalu dimarah, tapi waktu itu aku mulai pandai membantah nenek. Maaf lagi yah nek.

Saya tak akan menceritakan masa SMA  dengan nenek disini, mungkin dilain waktu. Walaupun teman SMA ku sering mengejek bahwa aku adalah anak nenek. Tak apa, memang begitulah kisahku, lebih suka menghabiskan waktu bersama dengan nenek.
Selanjutnya yang akan kuceritakan adalah perjalanan, bagaimana cucunya ini mencoba untuk berbakti pada beliau.

Sebut saja aku telah kuliah, nenek sebenarnya ingin aku kuliah ditolitoli saja, bersama dengannya, karena sejak tanteku menikah, nenek sendirian dirumahnya, aku masih ingat, saat ketika pertama ingin berangkat untuk merantau, nenek menangis disampingku, mengatakan “Jangan lupa sama nenek bi, jangan sombong !” saya menangis juga waktu itu. Nenek cium keningku, pergilah nak, semoga kau sukses dan bisa jadi orang. Waktu berjalan kuliahku telah aktif, setiap kali aku menelepon ibu, tak pernah aku lupa untuk bertanya, “gimana kabar nenek, sehat-sehat ji toh ?”, 3 tahun aku kuliah, 3 kali pula aku pulang kampung, setiap puasa pasti aku balik, walau hanya sekedar berlebaran disana, dan selama disana aku selalu nginap dirumah nenek. Tak heran jika setiap pagi, setiap kali nenek ingin ke pasar, aku yang mengantarnya, makan ikan apa hari ini bi, kujawab saja terserah nenek saja, kau mau makan kue apa bi, kujawab lagi donat nek, ayo lah kita beli kata nenek. Seusai dari pasar, kami pulang duduk bercerita dikursi hitam panjang milik nenek, sambil menikmati teh yang dibuatnya dan donat yang sudah dibelinya. aku ingin mencukupkan cerita disini saja. Selanjutnya adalah masa berkabungku.

Setelah satu semester berada dikota rantau sejak terakhir kali pulang dari tolitoli, untuk melanjutkan pendidikanku, kabar dari kampung datang, nenek sakit parah, suaranya yang keluar dari ponsel milikku sudah tak jelas lagi terucap. Ada yang ingin ku ceritakan disini, waktu itu nenek memintaku, sambil nangis, tolong bacakan yasin dari situ bi, nenek mau dengar. Saya bacakan surah yasin itu, sampai selesai, sambil menangis dan bilang cepat sembuh nek, abi rindu. Dia tertawa, lalu beberapa saat setelah itu nenek pun tertidur. Seminggu setelah kejadian itu, nenek masuk rumah sakit, langsung masuk ke ICU, ruangan kamar yang paling membuat seseorang hanya tinggal menggantungkan harapan dan berusaha agar mata tak pernah tertutup untuk terus menatap layar. Ponselku berbunyi lagi, ibu menelpon, sudah waktunya kau pulang nak, nenekmu selalu memanggil namamu, tak usah pikirkan lagi tugas dari dosenmu, ini sudah sangat darurat. 27 Ramadhan di Tahun 2018, tiket pesawat ku pesan siang, dan berangkat sore, pikiranku tak karuan, antara memikirkan laporan yang belum ku selesaikan dan harus pulang kampung. Dan itulah pilihan, diakhir tulisan  nanti akan kukemukakan bahwa sebenarnya semua ini harus disyukuri. Maghrib, Palu terbentang luas dimataku, teman menjemput dan mengizinkan menginap beberapa jam, untuk sekedar menunggu mobil menuju tolitoli. 28 Ramadhan aku sampai ditolitoli, pagi hari, tas dan seluruh barang yang ku bawa, ku lempar dalam kamar adikku, kala itu tak ada yang kupikirkan, hanya lari menuju kamar nenek. Dan untuk pertama kalinya aku melihat rasa sakit yang tidak pernah sebelumnya kulihat menimpa nenek, selama ia membesarkanku, ia tak mampu berbicara, matanya tak mampu lagi melihat. Air mataku tak bisa ku tahan. Ku cium keningnya, ku elus rambutnya, kubisik ditelinganya, “Nenek, cucumu sudah sampai, abi sudah disini nek, abi minta maaf, jadi orang terakhir yang tiba disamping nenek, maafkan abi nek”, ia terbangun sambil sulit bersuara, ia bilang “Iya nak, saya maafkan”. aku keluar dari kamar nenek. Menghapus air mata yang tumpah tak karuan. 

Sorenya nenek kembali masuk ke ruang ICU, dalam beberapa hari kedepan aku harus pastikan, inilah waktuku untuk berbakti pada nenek, siang malam tidur tak karuan sudah menjadi konsekuensi. Sampai lah saat itu tiba, anggota keluarga kami, hanya tiga orang saat itu, aku dan dua orang pamanku. Seusai sholat isya, bersamaan dengan gema takbiran, malam jumat kala itu, 1 syawal 1439 H nenek pergi meninggalkan kami semua. Ruang ICU menjadi saksi, bahwa tak ada anggota keluarga yang menangis meronta-ronta kala itu. Semuanya tenang dengan kesedihan yang wajar. Bersyukur, bahwa Jumat menjadi hari dimana ia pergi meninggalkan kami semua.

Keesokan harinya, lebaran, saat semua orang berbahagia dengan susana idul fitri, kami keluarga besar nenek, berduka di hari Lebaran. Dan mengantar nenek menuju liang lahatnya sendiri, seusai shalat Jumat. Ia diletakkan berdekatan dengan kuburan kekasihnya dahulu, Sejak saat itu kakek dan nenek yang aku sayangi mereka tenang dialam yang sama.

Salam cinta penuh do’a, juga rindu untuk nenek dan kakek, dan saya berharap kematian seperti itulah yang akan aku dapatkan. Tentang masalah apapun itu saya bersyukur, bisa menemani nenek, hingga detik-detik ia pergi meninggalkan cucu yang ia besarkan sendirian. Sampai jumpa nek….  

0 komentar:

Posting Komentar

 
;